Direvisi Malah Rentan Korupsi

"Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami masyarakat," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9/2019) kepada reporter kompas.com. 

Kepala Staf Presiden Moeldoko
Sumber gambar : kompas.com

Ingatkah Anda terkait kontroversi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Hal tersebut memang cukup banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia. Revisi terhadap UU KPK telah diberlakukan sejak bulan September 2019 lalu. Menurut Chudry Sitompul, Pakar Hukum Universitas Indonesia, revisi UU KPK perlu dilakukan agar tercipta check and balances, dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Selama ini, KPK dinilai memiliki kewenangan yang terlalu banyak dan dinilai telah melenceng dari tujuan awal. Seharusnya, KPK selalu berkoordinasi dengan Polri dan kejaksaan, tetapi hal tersebut jarang terlihat. Dengan adanya revisi terhadap UU KPK, diharapkan agar KPK bisa terus berjalan dan berkembang ke arah yang lebih baik. KPK, sebagai subjek yang disorot dalam topik ini, merasa dirinya sedang dilemahkan. Terdapat beberapa pasal hasil revisi yang dinilai melemahkan wewenang KPK. 

Tidak mengejutkan jika hal tersebut menimbulkan banyak pro dan kontra di tengah kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa pihak merasa bahwa pasal-pasal atau poin-poin yang direvisi malah melemahkan KPK sebagai institusi yang berwenang untuk mengurus hal-hal terkait tindak korupsi. Mereka merasa bahwa hal tersebut mengurangi ruang kerja dan membatasi ruang gerak KPK dalam mengerjakan tugasnya. Namun, di sisi lain terdapat pula pihak yang merasa UU KPK sudah waktunya untuk direvisi. Hal tersebut perlu dilakukan agar kerja KPK semakin optimal. Mereka juga merasa bahwa revisi tersebut tidak melemahkan KPK, malahan memperkuat dan mempermudah KPK dalam menjalankan tugasnya. 

Salah satunya adalah Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Baginya, merevisi UU KPK merupakan langkah yang tepat. Ia menjelaskan bahwa KPK saat itu dpapat menghambat investasi sehingga perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undangnya.

"Lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi. Ini yang tidak dipahami masyarakat,"  kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9/2019) kepada reporter kompas.com.


Pernyataan Moeldoko ini, ramai direspons secara negatif oleh masyarakat, hingga beberapa jam kemudian, Kantor Staf Kepresidenan pun segera mengirim siaran pers kepada awak media untuk melakukan klarifikasi. Dalam klarifikasi tersebut, Moeldoko menjelaskan bahwa yang ia maksud adalah, bukan soal KPK sebagai lembaga yang menghambat investasi tersebut, melainkan KPK yang bekerja dibawah undang-undang lama yang masih terdapat ketidakpastian hukum sehingga berpotensi menghambat investasi. Melanjutkan dan menegaskan pernyataannya tersebut, ia mencontohkan tidak adanya mekanisme untuk menerbitkan surat perintah (SP3) menyebabkan adanya penetapan status tersangka tanpa kepastian yang jelas akan menjadi momok bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia. 

Menanggapi hal ini, Piter Abdullah, seorang ekonom dan direktur dari lembaga penelitian Center of Reform on Economics (CORE), menilai ucapan Moeldoko ini keliru sebab pada dasarnya, korupsi lah yang menghambat investasi bukan malah pemberantasannya.


"Korupsi menyebabkan biaya investasi  menjadi tinggi, dan penuh ketidakpastian. Kedua hal tersebut tentunya tidak disukai oleh investor," ujar Piter.

Ia juga menanggapi pernyataan klarifikasi Moeldoko terkait tidak adanya kewenangan KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), yang kini diatur dalam Undang-Undang KPK (revisi) pasal 40, yang dinilai oleh Moeldoko menjadi alasan investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Piter menilai tidak ada korelasi antara kewenangan SP3 dan investasi di Indonesia, 


Pertimbangan untuk memberikan kewenangan KPK menerbitkan SP3K  utamanya adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada tersangka korupsi,jangan sampai digantung bertahun-tahun. Hal ini tidak ada hubungannya dengan calon investor. Tidak akan membuat keengganan investor utk masuk ke Indonesia”  ucapnya.


Ia juga menambahkan bahwa Indonesia pada dasarnya sudah sangat menarik untuk investasi, yang ditunjukkan dengan banyaknya investor yang mengajukan permohonan izin investasi. Hal ini tergambar dalam data Investasi Asing Langsung/Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia, yang menunjukkan adanya peningkatan investasi asing yang cukup besar di Indonesia dari tahun 2016-2017 dan dari data terakhir, tahun 2018, kembali mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.



Namun,  justru yang seringkali menjadi masalah dalam perealisasian investasi ini adalah sulitnya membebaskan lahan, permasalahan ketenagakerjaan, sampai kepada permasalahan adanya inkonsistensi kebijakan pemerintah dan buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Ucapan Moeldoko terkait KPK  juga dapat disanggah melalui data yang kami kumpulkan terkait Indeks Persepsi Korupsi The Corruption Perception Index (CPI) dan Indeks Kebebasan Ekonomi/The Index of Economic Freedom (FEI). CPI merupakan persepsi atau anggapan publik terhadap korupsi di dalam negara. Skor CPI memiliki rentang nilai 0-100, di mana 0 menunjukkan negara yang memiliki persepsi korupsi tertinggi dan 100 menunjukkan persepsi korupsi terendah. Semakin tinggi skor CPI, semakin bersih pula suatu negara dari tindak korupsi, begitu pun sebaliknya.


KPK yang merupakan lembaga antisurah yang telah berdiri semenjak tahun 2002, terbukti dapat mengurangi jumlah korupsi di Indonesia, berdasarkan data CPI dari tahun 2002-2018. Dapat terlihat bahwa semenjak berdiri, skor CPI Indonesia hanya berada di angka 19, namun kini skor CPI Indonesia mencapai dua kali lipatnya sebesar 38 (2018).

  
Di lain sisi, FEI merupakan  indeks yang mengukur tingkat kebebasan ekonomi setiap negara. Serupa dengan skor CPI, skor FEI memiliki rentang nilai 0-100, di mana 0 menunjukkan negara yang memiliki tingkat kebebasan ekonomi yang sangat rendah dan 100 menunjukkan tingkat kebebasan ekonomi yang tinggi. FEI memiliki dasar penilaian berdasarkan perlindungan hak milik pribadi, tarif pajak, iklim usaha sehat serta stabilitas moneter dan keterbukaan terhadap arus perdagangan global.



Dari data tersebut dapat dilihat bahwa CPI dan FEI memiliki korelasi positif, yakni semakin tinggi nilai CPI (bersih dari korupsi), semakin tinggi pula nilai FEI pada tahun tersebut (ekonomi bebas). Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah nilai CPI (tingkat korupsi tinggi), semakin rendah pula nilai FEI pada tahun tersebut (ekonomi tidak bebas).

Korelasi ini juga disetujui oleh Sarah Nuraini Siregar, seorang peneliti di Divisi  Pusat Penelitian Politik di LIPI. Ia mengatakan bahwa ketika korupsi rendah, jelas saja kebutuhan ekonomi dapat terpenuhi karena uang negara dialokasikan untuk kegunaan yang seharusnya seperti untuk pembangunan dan hal-hal terkait lainnya. Didasarkan pada indeks penilaian FEI sendiri yakni iklim usaha yang sehat, apabila ada korupsi pasti yang diuntungkan hanya kelompok-kelompok penguasa korup sehingga tidak adanya perwujudan suasana usaha yang sehat. Meskipun demikian, Sarah juga mengingatkan terkait bahaya kebebasan (liberalisasi)  ekonomi murni,


Jangan sampai kita menganut liberalisasi ekonomi yang begitu murni, sehingga  menciptakan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Karena, liberalisasi ekonomi, pada prinsipnya adalah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berusaha imbuhnya. 


Namun, secara umum Ia setuju bahwa indikator-indikator dari FEI sendiri memang sejatinya dapat terpenuhi apabila tidak adanya korupsi, sebab dana pemerintah memang dialokasikan untuk kegunaan yang sebenarnya, yakni untuk kepentingan rakyat.

Berdasarkan paparan tersebut,  dapat dilihat bahwa peran KPK yang merupakan lembaga antisurah untuk memberantas korupsi, sebenarnya memiliki peran yang sangat krusial.  Mulai dari usaha penjaminan kebebasan ekonomi hingga upaya penanaman modal investor di Indonesia, dimana keduanya berkaitan dengan jumlah korupsi yang diusahakan untuk diberantas oleh KPK. 

Pengebirian KPK Adalah Indikasi Kecacatan Demokrasi

Sumber gambar: tagar.id

Undang-undang revisi KPK merupakan sebuah peranti pelemahan KPK yang ditentang oleh berbagai pihak. Undang-undang ini mengebiri KPK melalui sejumlah mekanisme, mulai dari dialihkannya status pegawai KPK menjadi ASN, sampai masuknya KPK ke dalam rumpun eksekutif sehingga tidak independen. Pelemahan sepak terjang lembaga anti korupsi ini dipercaya mampu memperbesar timbulnya berbagai tindakan korupsi dalam sistem pemerintahan Indonesia.

“Kalau sepak terjak mereka [KPK] lemah berarti ada peluang terjadinya demokrasi yang tidak good governance. Berarti apa? Ya berarti demokrasi kita cacat. Kita tidak menciptakan pemerintahan yang bersih,” jelas Sarah Siregar.

Kecacatan demokrasi pada suatu negara bisa sangat berbahaya karena data menunjukkan bahwa semakin demokrasi mengalami kecacatan, indeks persepsi korupsi negara itu pun akan mengalami penurunan pula. Padahal, rendahnya indeks persepsi korupsi mengindikasikan bahwa negara tersebut marak korupsi.



Sistem demokrasi dalam suatu negara memang sepenuhnya harus dijaga sebab negara yang secara keseluruhan tidak menjalankan demokrasi atau sering disebut otoriter akan rentan terhadap korupsi. Jauh-jauh hari seorang sejarawan Inggris, Lord Acton, sudah menyadari hal itu. Dia berdalil bahwa power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Menurutnya, kekuasaan memang rentan korupsi, tetapi kekuasaan yang absolut justru akan korupsi secara pasti. Inilah yang menjadi kekhawatiran ketika negara ditata dalam sistem otoriter. Hal ini dapat terjadi dalam sistem otoriter karena dalam sistem itu tidak ada pengawasan dan evaluasi.

“Relasi parlemen dengan eksekutif itu harus check and balances berarti saling mengkoreksi. Kalau tidak ada, apa yang dikatakan Bapak ya monggo, dan kamu ikutin perintah saya,” tambah Sarah terkait politik otoriter. Mengutip dari Lord Acton, dalam sistem otoriter, ketika orang telah berkuasa, maka mereka ingin mempertahankannya secara terus-menerus. “And, he will do anything,” tambah Sarah. “Termasuk dengan uang."

Demokrasi Bukan Berarti Sejahtera

Negara ini berada di tingkat menengah dalam memenuhi indikator demokrasi yang dibuat oleh The Global State of Democracy 2019. Publikasi tersebut menjabarkan bahwa Indonesia telah cukup memenuhi atribut dari indeks demokrasi suatu negara adalah pemerintah yang representatif, (pemenuhan) hak-hak dasar, adanya check and balances (pengawasan dan keseimbangan) dalam pemerintah, adanya administrasi yang tidak memihak (berkeadilan) serta tingginya keterlibatan partisipatif. Ia memperoleh nilai di kisaran 0.4 – 0.7 (sejajar dengan Singapura dan Malaysia) yang mengindikasikan bahwa tingkat demokrasi di negara tersebut adalah mid-range.



Bila Indonesia sudah demikian demokratis, mengapa Indonesia masih belum bisa lepas dari korupsi? Menurut cross table dari variabel Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dengan Indeks Demokrasi (versi The Economist), tidak ada lonjakan yang signifikan dari meningkatnya angka persepsi korupsi dengan nilai dari indeks demokrasi. Artinya, persepsi korupsi di masyarakat tidak terlalu dipengaruhi oleh kebebasan yang ditawarkan oleh sistem demokrasi. Dalam kenyataannya pun, masih banyak sekali kasus korupsi di Indonesia walaupun sistem demokrasi telah terbangun.



Lantas, apa yang membuat Indeks Persepsi Korupsi tidak terlalu relevan dengan angka dari Indeks Demokrasi?


(Memangnya) apakah praktik demokrasi prosedural sudah pasti akan menciptakan perilaku korupsi yang rendah? Atau sebaliknya, apakah sistem demokrasi sudah pasti akan menekan perilaku korupsi? Atau, apakah demokrasi yang substansial di suatu negara punya dampak langsung terhadap menurunnya perilaku korupsi?”.

Pertanyaan itu diutarakan oleh Sarah untuk menanggapi hasil dari cross table mengenai Indeks Persepsi Korupsi dengan Indeks Demokrasi yang tidak terlalu signifikan. Menurutnya, tidak cukup hanya melihat dari faktor kuantitatif saja, namun juga faktor kualitatif yang melingkupi sistem demokrasi di negara tersebut. Perwujudan dari nilai-nilai demokrasi seperti adanya pemerintahan yang representatif ataupun pemenuhan hak-hak dasar—sebenarnya hanyalah bagian dari apa yang disebut dengan demokrasi secara prosedural, yaitu demokrasi yang ditegakan hanya karena memang harus ditegakan sesuai hukum yang berlaku dan diatur dalam undang-undang.

Ada yang jauh lebih kompleks dari pada itu, yakni penerapan demokrasi secara substansial—dimana prinsip-prinsip demokrasi yang tadi disebutkan dilaksanakan secara utuh sampai ke tingkat masyarakat. Masalahnya, menurut penuturan Sarah, sistem demokrasi yang dipraktikan di Indonesia tidaklah ‘sesempurna’ yang dilakukan di negara demokrasi lainnya seperti Inggris, Amerika Serikat atau Jepang. Sehingga, dalam penerapannya selalu ada kendala yang sebenarnya cukup sepele namun memiliki dampak yang begitu berbahaya bagi masyarakat dan negara.

Sistem demokrasi menganut pemerintahan perwakilan yang mana menurut Sarah menjadi salah satu peluang kelemahan sistem yang berangkat dari ideologi liberalisme ini. Pemerintahan perwakilan rakyat, apabila dalam konteks Indonesia, dapat memunculkan yang namanya oligarki—yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Bahkan dalam artikel di Britannica secara khusus disebutkan bahwa oligarki merupakan pemerintahan yang dijalankan oleh segelintir orang yang lalim/sewenang-wenang dan dilakukan oleh kelompok kecil yang memiliki hak istimewa dengan tujuan yang korup lagi serakah.

Oligarki memungkinkan kekuatan politik dan ekonomi terpusat di tangan sekelompok orang saja. Mereka yang telah memegang kekuasan tersebut cenderung akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya—termasuk memakai uang. Dalam publikasi oleh IDEA: The Global State of Democary, fenomena suara rakyat yang dibeli menjadi suatu hal yang terjadi secara luas di Indonesia. Bahkan, sistem desentralisasi yang digadang-gadang sebagai upaya dari pemerintah pusat untuk memberikan kesempatan pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri, nyatanya, juga berperan menyebarkan  kekuasaan dan korupsi di ranah regional dan lokal.

Namun, oligarki ini tidak harus menjadi hambatan bagi negara untuk dipimpin oleh pemerintah yang baik dan bersih. Amerika Serikat menganut sistem demokrasi dan memiliki kelompok-kelompok oligarki dalam negaranya, tetapi tetap bisa menyelenggarakan pemerintahan lebih baik dibanding Indonesia.

“Perkaranya adalah bagaimana menjaga supaya kelompok-kelompok oligarki ini on the track, diawasi, dan tidak monopolistik,” tambah Sarah.

Menurutnya, di Indonesia kelompok oligarki ekonomi telah mencengkeram sistem politik agar bisnis mereka terus ajeg dan memperoleh keuntungan ekonomi terus-menerus. Dengan kata lain, oligarki-oligarki ini menggurita di dalam politik agar memiliki power dan bisa terus menjaga lingkaran mereka. “Kalo saya gambar, ini ada bulatan, guritanya dikeluarin satu-satu. Saya [oligarki] pegang yang politik nih … saya [oligarki] pegang yang sosial nih,” jelas Sarah sambil memvisualisasikan politik Indonesia yang dicengkeram kelompok-kelompok oligarki. “Money talks.”


KPK Harus Mengawasi Para Perwakilan Rakyat


Seperti yang sudah disinggung, sistem demokrasi bukan berarti sebuah sistem pemerintahan yang bersih dari adanya korupsi. Sistem ini melahirkan perwakilan-perwakilan rakyat yang berpotensi melakukan korupsi pada pemerintahan. Bahkan, menurut data KPK, diketahui bahwa dari tahun 2004-2019, secara keseluruhan, ternyata anggota DPR dan DPRD merupakan salah satu profesi yang paling banyak tertangkap oleh KPK.



Tingginya angka anggota DPR dan DPRD yang tertangkap korupsi menandakan bahwa KPK harus terus memperketat pengawasannya kepada dua instansi tersebut. Masalahnya, dalam revisi UU KPK, lembaga antikorupsi itu tidak memiliki otoritas untuk mengawasi lembaga-lembaga non penyelenggara negara, seperti DPRD.

Alhasil, DPRD, salah satu lembaga dengan potensi korupsi yang tinggi kini justru lepas dari pengawasan KPK. Bahkan, belakangan ini pemilihan kepala daerah (Pilkada) diwacanakan akan dikembalikan dari yang pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Yang awalnya kepala daerah (gubernur) dipilih oleh rakyat, kini direncanakan dipilih oleh DPRD. Sistem tersebut sangat berpotensi korup sebab peluang DPRD mendapatkan uang korupsi semakin besar. Sarah menganalogikan bahwa upaya ini hanya sebagai pemindahan aliran uang Pilkada dari yang disebar ke masyarakat (untuk memperoleh suara), ke anggota DPRD (untuk menyuap mereka sehingga bersedia mengangkat para calon kepala daerah).

They [DPRD] will get a lot of money,” kata Sarah yang dilanjutkan dengan bergidik ngeri terhadap sifat DPRD yang seperti itu. “Rakus … jijik, ih.”



Komentar

Postingan Populer